Pages

Jumat, 21 Maret 2014

Konstribusi Hukum Pidana Islam Dalam pembaharuan Hukum Pidana Nasional Mengenai Tindak Pidana Perzinahan


A. Pendahuluan
Dalam upaya pembaharuan hukum pidana nasional di Indonesia, yang mana hukum pidana indonesia yang terkodifikasi dalam KUHP sekarang ini dianggap sebagai peninggalan kolonial Belanda dan telah out of date. KUHP yang berlaku sekarang ini, dianggap kurang mewakili budaya Indonesia yang ketimuran dan dianggap pula tidak memadai lagi untuk merespon perkembangan masyarakat dan peradabannya yang sudah jauh berbeda.
Harapan untuk mengembangkan syariat Islam khususnya hukum pidana Islam[1] di Indonesia sudah lama terniatkan, sejak hukum pidana positif berkembang pada zaman Hindia Belanda. Para pendiri bangsa (The Founding Father) telah merencanakan untuk diberlakukannya syariat Islam di Indonesia. Namun, dengan mendasarkan pada pluralitas bangsa Indonesia, rencana tersebut tidak dapat terwujud dengan alasan untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menjadikan Pancasila sebagai dasar negara ini.
Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat (Khususnya upaya penanggulangan kejahatan). Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum pidana yang pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka mengefektifkan penegakan hukum
Tujuan hukum Islam senyatanya adalah sejalan dengan tujuan hidup manusia serta potensi yang ada dalam dirinya dan potensi yang datang dari luar dirinya, yakni kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat, atau dengan ungkapan yang singkat, untuk kemaslahatan manusia. Tujuan ini dapat dicapai dengan cara mengambil segala hal yang memiliki kemaslahatan dan menolak segala hal yang merusak dalam rangka menuju keridoan Allah sesuai dengan prinsip tauhid. Menurut al-Syathibi, kemaslahatan itu dapat terwujud apabila terwujud juga lima unsur pokok, kelima unsur pokok itu adalah agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta.[2]
Sebagaimana tujuan hukum Islam tersebut, maka untuk itu diperlukan suatu peraturan hukum yang mampu mengakomodirnya khususnya hukum yang mengatur mengenai kejahatan dan pelanggaran, yakni aturan dalam hukum pidana nasional. Pengintegrasian hukum pidana Islam ke dalam hukum pidana nasional, seperti yang terlihat pada beberapa pasal dalam RUU KUHP, merupakan suatu pemikiran yang cukup bijak. Namun, jika secara eksplisit hal ini tidak bisa dilakukan, minimal prinsip-prinsip utamanya dapat terwujud dalam hukum pidana nasional. Berkaitan dengan itu salah satu yang menjadi sorotan adalah mengenai tindak pidana perzinahan. Tindak pidana perzinahan yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana saat ini masih terdapat ketidaksesuaian antara nilai-nilai hukum baik itu nilai hukum pidana Islam, hukum pidana adat, bahwa tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana yang dapat mengganggu ketentraman dan ketertiban masyarakat yang berakibat rusaknya tatanan kehidupan yang selama ini dijaga oleh masyarakat, namun pengaturannya masih mengadopsi nilai-nilai hukum pidana barat, sehingga masyarakat tidak mampu menerimanya dan rasa keadilan yang diidam-idamkan masyarakat tidak terpenuhi.
Hukum pidana Islam mencoba menjawab tantangan yang sekarang dialami masyarakat, sehingga dengan wacana perubahan undang-undang hukum pidana nasional, hukum pidana Islam diharapkan mampu memberikan konsep-konsep yang menjadi solusi dalam memberikan keadilan hukum.
Tidak dipungkiri bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah warga negara yang beragama Islam, maka tidak menjadi suatu permasalahan ketika konsep-konsep hukum pidana Islam coba untuk ditawarkan bagi pembaharuan hukum pidana nasional. Mengingat bahwa cara terbaik untuk mendekatkan umat Islam dengan keIslamannya adalah dengan cara mendekatkan hukum Islam kepada umat Islam tersebut.
Berdasarkan hal tersebut maka dalam penulisan ini akan dibahas dua permasalahan, yaitu Bagaimanakah konsep tindak pidana perzinahan dalam hukum pidana Islam dan Bagaimanakah konstribusi hukum pidana Islam dalam pembaharuan hukum pidana nasional mengenai tindak pidana perzinahan?

B. PEMBAHASAN
1. Konsep Tindak Pidana Perzinahan dalam Hukum Pidana Islam
Dalam pandangan Islam, ketika meletakkan setiap hubungan kelamin di luar pernikahan, maka perbuatan tersebut disebut dengan zina dan ancamannya adalah dengan hukuman, ancaman tersebut diberikan kepada pelaku yang sudah menikah ataupun belum menikah, yang dilakukan dengan suka sama suka atau juga tidak.
Hukum Islam melarang perbuatan zina dan mengancamnya dengan hukuman dikarenakan zina termasuk perbuatan yang dapat merusak sistem kemasyarakatan dan mengancam keselamatannya. Zina juga merupakan pelanggaran atas sistem kekeluargaan, sedangkan keluarga merupakan dasar berdirinya masyarakat. Membolehkan zina berarti membiarkan terjadinya kekejian dan hal ini dapat meruntuhkan masyarakat, Islam sendiri menginginkan adanya masyarakat yang kokok dan kuat.[3]
Dalam hukum pidana Islam, hukuman untuk perbuatan zina ditegaskan dalam Al-Quran dan Sunnah. Hukuman bagi pelaku zina yang belum menikah (ghoiru muhsan) didasarkan pada ayat Al-Qur’an  Surah An-Nuur ayat (2), yaitu:
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap orang dari mereka seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian dari menjalankan agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.”
 Sedangkan bagi orang yang sudah menikah (muhsan) hukumannya menurut para ahli hukum Islam adalah rajam (dilempari batu) sampai mati. Hukuman ini disandarkan pada hadits Nabi Muhammad SAW, yang diriwayatkan oleh Muslim dari ‘Ubadah bin Shamit, yang berbunyi:
“Terimalah dariku! Terimalah dariku! Terimalah dariku! Allah telah memberi jalan kepada mereka. Bujangan yang berzina dengan bujangan dijilid seratus kali dan diasingkan selama satu tahun. Dan orang yang telah kawin yang berzina didera seratus kali dan dirajam dengan batu.” (HR Muslim dari ‘Ubadah bin Shamit)
Adapun unsur-unsur perzinahan yang terdapat dalam hukum pidana Islam, adalah sebagai berikut:
1. Persetubuhan yang diharamkan
Persetubuhan yang dianggap sebagai zina adalah pesetubuhan dalam farji (kemaluan). Ukurannya adalah apabila kepala kemaluan (hasyafah) telah masuk ke dalam farji maupun sedikit. Juga dapat dianggap zina walaupun ada penghalang antara zakar (kemaluan laki-laki) dan farji (kemaluan perempuan), selama penghalangnya tipis yang tidak menghalangi perasaan dan kenikmatan bersenggama.[4]
Di samping itu, kaidah untuk menentukan persetubuhan sebagai zina adalah persetubuhan yang terjadi bukan pada miliknya sendiri. Dengan demikian, apabila persetubuhan terjadi dalam lingkungan hak milik sendiri karena ikatan perkawinan maka persetubuhan tersebut tidak dianggap sebagai zina, walaupun persetubuhan itu diharamkan datang belakangan karena adanya suatu sebab bukan karena zatnya. Contohnya seperti menyetubuhi istri yang sedang haid, nifas atau sedang berpuasa ramadhan. Persetubuhan ini semuanya dilarang, tetapi tidak dianggap sebagai zina.[5]
Apabila persetubuhan tidak memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut maka tidak dianggap sebagai zina yang dikenai had, melainkan hanya tergolong kepada perbuatan maksiat yang diancam dengan hukuman ta’zir, walaupun perbuatannya itu merupakan pendahuluan zina. Contohnya seperti mufakhadzah (memasukkan penis di antara dua paha), atau memasukkan ke dalam mulut, atau sentuhan-sentuhan di luar farji. Demikian pula perbuatan maksiat yang lain yang juga merupakan pendahuluan dari zina dikenai hukuman ta’zir. Contohnya seperti ciuman, berpelukan, bersunyi-sunyi dengan wanita asing (bukan mahram), atau tidur bersamaan dalam satu ranjang. Meskipun pada umumnya para fuqaha telah sepakat bahwa yang dianggap zina adalah persetubuhan terhadap farji manusia yang masih hidup, namun dalam penerapannya terhadap kasus-kasus tertentu kadang-kadang berbeda pendapat.[6]
Namun ada beberapa kasus dan pendapat dari para ulama mengenai hukumnya. Diantaranya:
a. Wathi pada dubur (Liwath)
b. Menyetubuhi mayat
c. Menyetubuhi binatang
d. Persetubuhan dengan adanya syubhat
e. Kekeliruan dalam persetubuhan
f.  Perkawinan setelah terjadinya zina
g. Utuhnya selaput dara
2. Adanya kesengajaan atau niat yang melawan hukum.
Unsur ini adalah adanya niat dari pelaku yang melawan hukum, yakni unsur ini terpenuhi apabila pelaku melakukan suatu perbuatan (persetubuhan) padahal ia tahu bahwa wanita yang disetubuhi tersebut adalah wanita yang diharamkan baginya. Dengan demikian, apabila seseorang mengerjakan suatu perbuatan dengan sengaja, tetapi ia tidak tahu bahwa perbuatan yang dilakukannya haram maka ia tidak dikenai hukuman had. Contohnya seperti seseorang yang menikahi seorang wanita yang sebenarnya mempunyai suami tetapi dirahasiakan kepadanya. Apabila terjadi pesetubuhan setelah dilaksanakannya perkawinan tersebut, maka suami tersebut tidak dikenai pertanggungjawaban (tuntutan) selama ia benar-benar tidak tahu bahwa wanita itu masih dalam ikatan perkawinan dengan suami yang terdahulu.[7]
Unsur melawan hukum atau kesengajaan berbuat ini harus berbarengan dengan melakukan perbuatan yang diharamkannya itu, bukan sebelumnya. Artinya, niat melawan hukum tersebut harus ada pada saat dilakukannya perbuatan yang dilarang itu. Apabila pada saat dilakukannya perbuatan yang dilarang niat melawan hukum itu tidak ada meskipun sebelumnya ada, maka pelaku tidak dikenai pertanggungjawaban atas perbuatan yang dilakukannya.[8]
Perlu diperhatikan juga bahwa terdapat perbedaan antara diterimanya alasan tidak tahu tentang haramnya zina dengan diterimanya alasan tidak tahu tentang fasid (batalnya suatu perkawinan) oleh para ulama. Diterimanya alasan tidak tahu tentang haramnya zina mengakibatkan dibebaskannya pelaku dari hukuman, karena hapusnya niat yang melawan hukum dari pelaku. Adapun diterimanya alasan tidak tahu mengenai fasid, bagi golongan yang menerima alasan itu, tidak menghapuskan niat yang melawan hukum, melainkan hanya sebagai syubhat[9] yang menghapuskan hukuman had dan tidak menghalangi dikenakannya hukuman ta’zir.
Sesuatu yang menarik juga dalam hal eksekusi rajam atas pelaku zina yang muhsan adalah apabila pembuktian didasarkan pada pengakuannya sendiri. Apabila kemudian ia melarikan diri pada saat hukuman dijatuhkan, menurut mayoritas ahli hukum, ia tidak perlu dikerjar.[10]
2. Konstribusi Hukum Pidana Islam dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional Mengenai Tindak Pidana Perzinahan
Pembaharuan hukum pidana nasional melalui pembahasan RUU KUHP sekarang ini harus diakui sebagai upaya untuk mengakomodasi aspirasi sebagian besar umat Islam di Indonesia. Aspirasi demikian tentu saja sejalan dengan pancasila dan benar-benar kontitusional. Seperti kita tahu, Pancasila terutama sila pertamanya Ketuhanan Yang maha Esa, memberikan landasan/asas yang sangat kokoh bagi setiap pembangunan peradaban dan kebudayaan yang ingin ditegakkan di bumi Indonesia. Landasan/asas teologis ini semakin memperoleh bentuknya  yang  konkrit  dalam  Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 yang  menyatakan: (1) “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.“ (2) “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu“. Dalam pandangan umat Islam termasuk ke dalam pengertian ibadah (literal maupun terminologis) ialah mematuhi dan menghormati hukum yang telah ditetapkan oleh addin (agama).[11]
Perkembangan politik hukum di Indonesia yang sudah menjalani pertumbuhan dengan memphatikan pengaruh dari berbagai faktor nilai-nilai kemasyarakatan dan keagamaan khususnya agama Islam. Maka sudah waktunya para ulama dan kaum cendikiawan Muslim turut menegaskan kaidah agama, agar umat Islam tidak lagi melanggar ajaran agamanya dengan cara self inforcement. Penegakan hukum (kaidah) agama secara preventif ini sangat membantu pemantapan pola penegakan hukum (law enforcement) negara secara preventive represive. Tujuannya adalah agar masyarakat memahami dan mentaati kaidah hukum negara dan kaidah agama sekaligus. Dengan demikian, syariah Islam bukan hanya didakwahkan, tetapi juga dilaksanakan melalui penegakan hukum preventif bukan represif guna mengisi kelemahan hukum pidana positif.[12]
Penyusunan Konsep KUHP Baru yang memang secara umum dilatarbelakangi oleh kebutuhan dan tuntutan nasional untuk melakukan pembaharuan dan sekaligus merubah KUHP yang lama, oleh karenanya yang menjadi perhatian di sini adalah mengenai tindak pidana perzinahan. Pada Pasal 485 RUU KUHP Tahun 2008 menyebutkan:
(1)  Dipidana karena zina, dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun:
a.  laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya;
b.  perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki yang bukan suaminya;
c.   laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan;
d.  perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki, padahal diketahui bahwa laki-laki tersebut berada dalam ikatan perkawinan;
e.  laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan.

Dalam pasal 485 RUU KUHP tersebut terlihat bahwa aturan tersebut telah mengadopsi dari konsep hukum pidana Islam mengenai perbuatan zina, yang mana sebelumnya dalam Pasal 284 KUHP, zina hanya dapat terjadi bila ada persetubuhan antara kedua orang pelaku (pria dan wanita) telah kawin, atau salah satu dari keduanya telah terikat perkawinan dengan orang lain. Namun hukum pidana Islam telah memberikan konstribusinya dalam pembentukan pasal 485 RUU KUHP 2008, yang mana konsep tersebut terlihat pada ayat (1) huruf e, yakni laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan.
Ini semakin memperjelas bahwa RUU KUHP mengakomodir dan mengkriminalisasi suatu perbuatan zina yang dilakukan oleh pelaku zina yang belum menikah (ghoiru muhsan) yang mana itu terlihat dalam konsep hukum pidana Islam.
Selanjutnya pada Pasal 489 RUU KUHP Tahun 2008 disebutkan:
(1)  Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan seseorang yang diketahuinya bahwa orang tersebut anggota keluarga sedarah dalam garis lurus atau ke samping sampai derajat ketiga, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun;
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin, maka pembuat tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.

Dalam Pasal ini terlihat bahwa adanya konstribusi hukum Islam terhadap unsur pasal tersebut, karena secara umum Islam melarang adanya perkawinan sedarah. Sehingga Islam memandang bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan zina, karena misalkan dengan dalil pelaku melakukan persetubuhan dengan perempuan yang dianggap istrinya sedangkan perempuan tersebut haram untuk dinikahi karena perempuan tersebut adalah muhrimnya, maka pernikahan yang terjadi pun dianggap batal menurut hukum Islam. Oleh karena ketika persetubuhan itu terjadi maka termasuk pada perbuatan zina.[13]
Pasal 490 RUU KUHP 2008 disebutkan:
(1)  Dipidana karena melakukan tindak pidana perkosaan, dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.
a. laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan, bertentangan dengan kehendak perempuan tersebut;
b. laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan, tanpa persetujuan perempuan tersebut;
c. laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut, tetapi persetujuan tersebut dicapai melalui ancaman untuk dibunuh atau dilukai;
d. laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut karena perempuan tersebut percaya bahwa laki-laki tersebut adalah suami sahnya;
e. laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan yang berusia di bawah 14 (empat belas) tahun, dengan persetujuannya;
f.  laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.
(2)  Dianggap juga melakukan tindak pidana perkosaan, jika dalam keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. laki-laki memasukkan alat kelaminnya ke dalam anus atau mulut perempuan; atau
b. laki-laki memasukkan suatu benda yang bukan merupakan bagian tubuhnya ke dalam vagina atau anus perempuan.
                                   
Dari pasal tersebut terlihat bahwa unsur pasal memfokuskan pemidanaan terhadap perbuatan persetubuhan yang dikarenakan pemaksaan, dengan kata lain perzinahan tersebut terjadi karena adanya upaya paksa dari seorang lelaki terhadap perempuan untuk melayani nafsu birahinya. Ini sejalan dengan hukum pidana Islam, di mana menurut pendapat yang marjuh (lemah) di dalam mazhab Maliki, Hanafi, Syafi’i, Hambali, dan Syiah Zaidiya, bahwa tidak mungkin dilakukan pemaksaan perzinahan terhadap laki-laki, karena kalau yang dipaksa itu adalah perempuan, kemungkinan besar sekali, karena wanita tugasnya adalah menyerahkan diri, tetapi laki-laki, tidak bisa dikatakan dipaksa apabila alat kelaminnya menegang, karena tegangnya itu menunjukkan kesediaannya. Baru apabila alat kelaminnya tidak menegang tetapi tetap dipaksakan maka di sini menurut Islam, ia tidak dapat dikenakan hukuman had.[14]
Selanjutnya pada Pasal 494 RUU KUHP 2008 disebutkan:
“Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang sama jenis kelaminnya yang diketahui atau patut diduga belum berumur 18 (delapan belas) tahun, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun.”
Pasal tersebut sejalan dengan konsep Islam, di mana Islam memandang perbuatan cabul dengan orang sesama jenis atau yang disebut dengan Liwath atau homoseksual merupakan perbuatan yang dilarang oleh syara’ dan merupakan perbuatan yang lebih keji daripada zina. Homoseksual ini bentuknya sama dengan zina dalam segi memasukkan kelamin dengan syahwat dan kenikmatan. Dengan demikian, perbuatan ini termasuk kepada kelompok zina dengan hukuman-hukuman yang sudah dicantumkan dalam nas.[15]

C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Dalam hukum pidana Islam, pelaku perbuatan zina terbagi atas pelaku yang belum menikah (ghoiru muhsan)  dan pelaku yang sudah menikah (muhsan). Adapun unsur-unsur perzinahan yang terdapat dalam hukum pidana Islam, yakni persetubuhan yang diharamkan dan persetubuhan karena adanya kesengajaan atau niat melawan hukum.
Konstribusi hukum pidana Islam terlihat Pada Pasal 485, 489, 490, 494 RUU KUHP. Konstribusi tersebut memperlihatkan bahwa langkah tersebut merupakan upaya untuk memberlakukan hukum pidana Islam sesuai dengan aspirasi masyarakat Indonesia secara umum dan umat Islam secara khususnya.
2. Saran
Berbagai konsep pemikiran Islam di atas menunjukkan adanya "nilai plus" dari RUU KUHP tersebut. Konsep pemikiran yang terancang dalam R-KUHP yang telah tersusun sekarang ini, secara keseluruhan direkomendasian agar dapat diakomodasikan dalam penyempurnaan penyusunan RUU KUHP Nasional mendatang. Semoga para pemangku kewenangan dapat memaksimalkan konsep tersebut sehingga dapat memberikan harapan dan tujuannya agar KUHP mendatang bisa mendekati perwujudan konsep hukum yang "ideal" sebagaimana dicita-citakan oleh segenap elemen bangsa.


[1] Hukum pidana Islam merupakan seperangkat norma atau peraturan yang bersumber dari Allah dan Nabi Muhammad SAW, untuk mengatur kejahatan manusia di tengah-tengah masyarakatnya. Dengan kalimat yang lebih singkat, hukum pidana Islam dapat diartikan sebagai hukum tentang kejahatan yang bersumber dari ajaran Islam. Hukum Pidana Islam (HPI) dalam khazanah literatur Islam biasa disebut al-ahkam al-jinaiyyah, yang mengatur pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang mukallaf dan hukuman-hukuman baginya. Lihat dalam Abd al-Wahhab Khallaf, Ilm Ushul al Fiqh, (Al-Qahirah: Dar al-Ilm li al-Thiba’ah wa al-Nasyr wa al-Tawzi, 1978), hlm. 32. Lebih lanjut Para ulama menggunakan istilah hukum pidana Islam dengan istilah jinayah yang memiliki dua arti, yakni arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas, jinayah merupkan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Syara’ dan dapat mengakibatkan hukuman had (hukuman yang ada ketentuan nash-nya seperti hukuman bagi pencuri, pembunuh, dll), atau ta’zir (hukuman yang tidak ada ketentuan nash-nya seperti pelanggaran lalu lintas, percobaan melakukan tindak pidana, dll). Dalam arti sempit, jinayah merupakan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Syara’ dan dapat menimbulkan hukuman had, bukan ta’zir. Lihat dalam A. Jazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), Cetakan Ke-3, (Jakarta: Rajawali Pers, 2000), hlm. 2.
[2] Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah menurut Al-Syatibi, (Jakarta: Rajawali Pers, 1996),  hlm. 71.
[3] Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam,Cetakan Ke-2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 4.
[4] Ibid, hlm. 8.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid, hlm. 25
[8] Ibid.
[9] Makna syubhat adalah setiap peristiwa hukum atau keadaan yang menyebabkan suatu perbuatan berada di antara dua ketentuan hukum.
[10] Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam (Penegakan Syariat Dalam Wacana Dan Agenda), (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hlm. 25.
[11] M. Amin Suma,  Makalah: “Telaah Kritis dan Sumbangan Konstruktif Terhadap RUU KUHP” (Bab XVI hingga Bab XXXIII) lihat di http://www.djpp.depkumham.go.id/inc/buka.php?czozNjoiZD1zb3MrMSZmPVRlbGFhaF9Lcml0aXNfUlVVX0tVSFAuaHRtIjs. Diakses tanggal 19/1/2014.
[12] A. Malik Fajar, Potret Hukum Pidana Islam, Deskripsi, Analisis Perbandingan dan Kritik Konstruktif, editor Jaenal Aripin dan M. Arskal Salim GP, Pidana Islam di Indonesia: Peluang, Prospek dan Tantangan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), hlm. 18.
[13] Wathul Maharim adalah menyetubuhi wanita muhrim yang dinikahi. Pernikahan semacam ini hukumnya batal menurut kesepakatan para ulama. Pesetubuhan yang dilakukan terhadap farji yang disepakati haramnya karena bukan hak milik dan tidak ada syubhat milik, tetap merupakan perbuatan zina yang harus dikenai hukuman had. Dalan kasus misalkan yang telah disebutkan, akad nikah yang dilakukan itu merupakan akad yang batal dan tidak ada pengaruhnya sama sekali, sehingga hal tersebut tidak bisa dianggap sebagai syubhat. Lihat dalam Ahmad Wardi Muslich, Op.Cit., hlm. 20-21.
[14] Bandingkan Ahmad Wardi Muslich, Ibid, hlm. 22.
[15] Abd Ar-Rahman Al-Jaziri, Kitab Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, Jus V, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1980), hlm. 140, dalam  Ahmad Wardi Muslich, Ibid, hlm. 13.