A. Pendahuluan
Dalam upaya pembaharuan hukum pidana nasional di
Indonesia, yang mana hukum pidana indonesia yang terkodifikasi dalam KUHP
sekarang ini dianggap sebagai peninggalan kolonial Belanda dan telah out
of date. KUHP yang berlaku sekarang ini, dianggap kurang mewakili
budaya Indonesia yang ketimuran dan dianggap pula tidak memadai lagi
untuk merespon perkembangan masyarakat dan peradabannya yang sudah jauh berbeda.
Harapan untuk mengembangkan syariat Islam khususnya hukum
pidana Islam[1]
di Indonesia sudah lama terniatkan, sejak hukum pidana positif berkembang pada
zaman Hindia Belanda. Para pendiri bangsa (The
Founding Father) telah merencanakan untuk diberlakukannya syariat Islam di
Indonesia. Namun, dengan mendasarkan pada pluralitas bangsa Indonesia, rencana
tersebut tidak dapat terwujud dengan alasan untuk menjaga keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia dengan menjadikan Pancasila sebagai dasar negara
ini.
Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum
pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat
(Khususnya upaya penanggulangan kejahatan). Sebagai bagian dari kebijakan penegakan
hukum, pembaharuan hukum pidana yang pada hakikatnya merupakan bagian dari
upaya memperbaharui substansi hukum (legal
substance) dalam rangka mengefektifkan penegakan hukum
Tujuan hukum Islam senyatanya adalah sejalan dengan tujuan
hidup manusia serta potensi yang ada dalam dirinya dan potensi yang datang dari
luar dirinya, yakni kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat, atau
dengan ungkapan yang singkat, untuk kemaslahatan manusia. Tujuan ini dapat
dicapai dengan cara mengambil segala hal yang memiliki kemaslahatan dan menolak
segala hal yang merusak dalam rangka menuju keridoan Allah sesuai dengan
prinsip tauhid. Menurut al-Syathibi, kemaslahatan itu dapat terwujud apabila
terwujud juga lima unsur pokok, kelima unsur pokok itu adalah agama, jiwa,
keturunan, akal, dan harta.[2]
Sebagaimana tujuan hukum Islam tersebut, maka untuk itu diperlukan
suatu peraturan hukum yang mampu mengakomodirnya khususnya hukum yang mengatur
mengenai kejahatan dan pelanggaran, yakni aturan dalam hukum pidana nasional.
Pengintegrasian hukum pidana Islam ke dalam hukum pidana nasional, seperti yang
terlihat pada beberapa pasal dalam RUU KUHP, merupakan suatu pemikiran yang
cukup bijak. Namun, jika secara eksplisit hal ini tidak bisa dilakukan, minimal
prinsip-prinsip utamanya dapat terwujud dalam hukum pidana nasional. Berkaitan
dengan itu salah satu yang menjadi sorotan adalah mengenai tindak pidana
perzinahan. Tindak pidana perzinahan yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana saat ini masih terdapat ketidaksesuaian antara nilai-nilai hukum baik
itu nilai hukum pidana Islam, hukum pidana adat, bahwa tindak pidana tersebut
merupakan tindak pidana yang dapat mengganggu ketentraman dan ketertiban
masyarakat yang berakibat rusaknya tatanan kehidupan yang selama ini dijaga
oleh masyarakat, namun pengaturannya masih mengadopsi nilai-nilai hukum pidana
barat, sehingga masyarakat tidak mampu menerimanya dan rasa keadilan yang
diidam-idamkan masyarakat tidak terpenuhi.
Hukum pidana Islam mencoba menjawab tantangan yang
sekarang dialami masyarakat, sehingga dengan wacana perubahan undang-undang
hukum pidana nasional, hukum pidana Islam diharapkan mampu memberikan konsep-konsep
yang menjadi solusi dalam memberikan keadilan hukum.
Tidak dipungkiri bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah
warga negara yang beragama Islam, maka tidak menjadi suatu permasalahan ketika
konsep-konsep hukum pidana Islam coba untuk ditawarkan bagi pembaharuan hukum
pidana nasional. Mengingat bahwa cara terbaik untuk mendekatkan umat Islam
dengan keIslamannya adalah dengan cara mendekatkan hukum Islam kepada umat
Islam tersebut.
Berdasarkan
hal tersebut maka dalam penulisan ini akan dibahas dua permasalahan, yaitu Bagaimanakah konsep tindak pidana perzinahan dalam hukum
pidana Islam dan Bagaimanakah konstribusi hukum pidana Islam
dalam pembaharuan hukum pidana nasional mengenai tindak pidana perzinahan?
B. PEMBAHASAN
1. Konsep
Tindak Pidana Perzinahan dalam Hukum Pidana Islam
Dalam pandangan Islam, ketika meletakkan setiap hubungan
kelamin di luar pernikahan, maka perbuatan tersebut disebut dengan zina dan
ancamannya adalah dengan hukuman, ancaman tersebut diberikan kepada pelaku yang
sudah menikah ataupun belum menikah, yang dilakukan dengan suka sama suka atau
juga tidak.
Hukum Islam melarang perbuatan zina dan mengancamnya
dengan hukuman dikarenakan zina termasuk perbuatan yang dapat merusak sistem
kemasyarakatan dan mengancam keselamatannya. Zina juga merupakan pelanggaran
atas sistem kekeluargaan, sedangkan keluarga merupakan dasar berdirinya
masyarakat. Membolehkan zina berarti membiarkan terjadinya kekejian dan hal ini
dapat meruntuhkan masyarakat, Islam sendiri menginginkan adanya masyarakat yang
kokok dan kuat.[3]
Dalam hukum pidana Islam, hukuman untuk perbuatan zina
ditegaskan dalam Al-Quran dan Sunnah. Hukuman bagi pelaku zina yang belum
menikah (ghoiru muhsan) didasarkan
pada ayat Al-Qur’an Surah An-Nuur ayat
(2), yaitu:
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka
deralah tiap-tiap orang dari mereka seratus kali dera, dan janganlah belas
kasihan kepada keduanya mencegah kalian dari menjalankan agama Allah, jika kamu
beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman
disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.”
Sedangkan bagi
orang yang sudah menikah (muhsan) hukumannya
menurut para ahli hukum Islam adalah rajam (dilempari batu) sampai mati.
Hukuman ini disandarkan pada hadits Nabi Muhammad SAW, yang diriwayatkan oleh
Muslim dari ‘Ubadah bin Shamit, yang berbunyi:
“Terimalah dariku! Terimalah dariku! Terimalah dariku!
Allah telah memberi jalan kepada mereka. Bujangan yang berzina dengan bujangan
dijilid seratus kali dan diasingkan selama satu tahun. Dan orang yang telah
kawin yang berzina didera seratus kali dan dirajam dengan batu.” (HR Muslim dari ‘Ubadah bin Shamit)
Adapun unsur-unsur perzinahan yang terdapat dalam hukum
pidana Islam, adalah sebagai berikut:
1. Persetubuhan
yang diharamkan
Persetubuhan yang dianggap sebagai zina
adalah pesetubuhan dalam farji (kemaluan). Ukurannya adalah apabila kepala
kemaluan (hasyafah) telah masuk ke
dalam farji maupun sedikit. Juga dapat dianggap zina walaupun ada penghalang
antara zakar (kemaluan laki-laki) dan farji (kemaluan perempuan), selama
penghalangnya tipis yang tidak menghalangi perasaan dan kenikmatan bersenggama.[4]
Di samping itu, kaidah untuk menentukan
persetubuhan sebagai zina adalah persetubuhan yang terjadi bukan pada miliknya
sendiri. Dengan demikian, apabila persetubuhan terjadi dalam lingkungan hak
milik sendiri karena ikatan perkawinan maka persetubuhan tersebut tidak
dianggap sebagai zina, walaupun persetubuhan itu diharamkan datang belakangan
karena adanya suatu sebab bukan karena zatnya. Contohnya seperti menyetubuhi
istri yang sedang haid, nifas atau sedang berpuasa ramadhan. Persetubuhan ini
semuanya dilarang, tetapi tidak dianggap sebagai zina.[5]
Apabila persetubuhan tidak memenuhi
ketentuan-ketentuan tersebut maka tidak dianggap sebagai zina yang dikenai had, melainkan hanya tergolong kepada
perbuatan maksiat yang diancam dengan hukuman ta’zir, walaupun perbuatannya itu merupakan pendahuluan zina.
Contohnya seperti mufakhadzah (memasukkan
penis di antara dua paha), atau memasukkan ke dalam mulut, atau
sentuhan-sentuhan di luar farji. Demikian pula perbuatan maksiat yang lain yang
juga merupakan pendahuluan dari zina dikenai hukuman ta’zir. Contohnya seperti ciuman, berpelukan, bersunyi-sunyi dengan
wanita asing (bukan mahram), atau tidur bersamaan dalam satu ranjang. Meskipun
pada umumnya para fuqaha telah
sepakat bahwa yang dianggap zina adalah persetubuhan terhadap farji manusia
yang masih hidup, namun dalam penerapannya terhadap kasus-kasus tertentu
kadang-kadang berbeda pendapat.[6]
Namun ada beberapa kasus dan pendapat
dari para ulama mengenai hukumnya. Diantaranya:
a. Wathi pada dubur (Liwath)
b. Menyetubuhi mayat
c. Menyetubuhi
binatang
d. Persetubuhan
dengan adanya syubhat
e. Kekeliruan
dalam persetubuhan
f. Perkawinan
setelah terjadinya zina
g. Utuhnya selaput dara
2. Adanya
kesengajaan atau niat yang melawan hukum.
Unsur ini adalah adanya niat dari pelaku
yang melawan hukum, yakni unsur ini terpenuhi apabila pelaku melakukan suatu
perbuatan (persetubuhan) padahal ia tahu bahwa wanita yang disetubuhi tersebut
adalah wanita yang diharamkan baginya. Dengan demikian, apabila seseorang
mengerjakan suatu perbuatan dengan sengaja, tetapi ia tidak tahu bahwa
perbuatan yang dilakukannya haram maka ia tidak dikenai hukuman had. Contohnya
seperti seseorang yang menikahi seorang wanita yang sebenarnya mempunyai suami
tetapi dirahasiakan kepadanya. Apabila terjadi pesetubuhan setelah
dilaksanakannya perkawinan tersebut, maka suami tersebut tidak dikenai
pertanggungjawaban (tuntutan) selama ia benar-benar tidak tahu bahwa wanita itu
masih dalam ikatan perkawinan dengan suami yang terdahulu.[7]
Unsur melawan hukum atau kesengajaan
berbuat ini harus berbarengan dengan melakukan perbuatan yang diharamkannya
itu, bukan sebelumnya. Artinya, niat melawan hukum tersebut harus ada pada saat
dilakukannya perbuatan yang dilarang itu. Apabila pada saat dilakukannya
perbuatan yang dilarang niat melawan hukum itu tidak ada meskipun sebelumnya
ada, maka pelaku tidak dikenai pertanggungjawaban atas perbuatan yang
dilakukannya.[8]
Perlu diperhatikan juga bahwa terdapat
perbedaan antara diterimanya alasan tidak tahu tentang haramnya zina dengan
diterimanya alasan tidak tahu tentang fasid
(batalnya suatu perkawinan) oleh para ulama. Diterimanya alasan tidak tahu
tentang haramnya zina mengakibatkan dibebaskannya pelaku dari hukuman, karena
hapusnya niat yang melawan hukum dari pelaku. Adapun diterimanya alasan tidak
tahu mengenai fasid, bagi golongan
yang menerima alasan itu, tidak menghapuskan niat yang melawan hukum, melainkan
hanya sebagai syubhat[9]
yang menghapuskan hukuman had dan tidak menghalangi dikenakannya hukuman ta’zir.
Sesuatu yang menarik juga dalam hal
eksekusi rajam atas pelaku zina yang muhsan
adalah apabila pembuktian didasarkan pada pengakuannya sendiri. Apabila
kemudian ia melarikan diri pada saat hukuman dijatuhkan, menurut mayoritas ahli
hukum, ia tidak perlu dikerjar.[10]
2. Konstribusi
Hukum Pidana Islam dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional Mengenai Tindak
Pidana Perzinahan
Pembaharuan hukum pidana nasional melalui pembahasan RUU KUHP sekarang ini
harus diakui sebagai upaya untuk mengakomodasi aspirasi sebagian besar umat
Islam di Indonesia. Aspirasi demikian tentu saja sejalan dengan pancasila dan
benar-benar kontitusional. Seperti kita tahu, Pancasila terutama sila
pertamanya Ketuhanan Yang maha Esa, memberikan landasan/asas yang sangat kokoh
bagi setiap pembangunan peradaban dan kebudayaan yang ingin ditegakkan di bumi
Indonesia. Landasan/asas teologis ini semakin memperoleh bentuknya
yang konkrit dalam Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan: (1) “Negara berdasar
atas Ketuhanan Yang Maha Esa.“ (2) “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya
dan kepercayaanya itu“. Dalam pandangan umat Islam termasuk ke dalam pengertian
ibadah (literal maupun terminologis) ialah mematuhi dan menghormati hukum yang
telah ditetapkan oleh addin (agama).[11]
Perkembangan
politik hukum di Indonesia yang sudah menjalani pertumbuhan dengan memphatikan pengaruh
dari berbagai faktor nilai-nilai kemasyarakatan dan keagamaan khususnya agama Islam.
Maka sudah waktunya para ulama dan kaum cendikiawan Muslim turut menegaskan kaidah
agama, agar umat Islam tidak lagi melanggar ajaran agamanya dengan cara self inforcement. Penegakan hukum (kaidah)
agama secara preventif ini sangat membantu pemantapan pola penegakan hukum (law enforcement) negara secara preventive represive. Tujuannya adalah agar
masyarakat memahami dan mentaati kaidah hukum negara dan kaidah agama sekaligus.
Dengan demikian, syariah Islam bukan hanya didakwahkan, tetapi juga dilaksanakan
melalui penegakan hukum preventif bukan represif guna mengisi kelemahan hukum pidana
positif.[12]
Penyusunan Konsep KUHP Baru yang memang secara umum dilatarbelakangi oleh
kebutuhan dan tuntutan nasional untuk melakukan pembaharuan dan sekaligus
merubah KUHP yang lama, oleh karenanya yang menjadi perhatian di sini adalah
mengenai tindak pidana perzinahan. Pada Pasal 485 RUU KUHP Tahun 2008
menyebutkan:
(1) Dipidana
karena zina, dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun:
a. laki-laki yang berada dalam ikatan
perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya;
b. perempuan yang berada dalam ikatan
perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki yang bukan suaminya;
c.
laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan
persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut
berada dalam ikatan perkawinan;
d. perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan
melakukan persetubuhan dengan laki-laki, padahal diketahui bahwa laki-laki
tersebut berada dalam ikatan perkawinan;
e. laki-laki dan perempuan yang
masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan.
Dalam pasal 485 RUU KUHP tersebut
terlihat bahwa aturan tersebut telah mengadopsi dari konsep hukum pidana Islam
mengenai perbuatan zina, yang mana sebelumnya dalam Pasal 284 KUHP, zina hanya
dapat terjadi bila ada persetubuhan antara kedua orang pelaku (pria dan wanita)
telah kawin, atau salah satu dari keduanya telah terikat perkawinan dengan
orang lain. Namun hukum pidana Islam telah memberikan konstribusinya dalam
pembentukan pasal 485 RUU KUHP 2008, yang mana konsep tersebut terlihat pada
ayat (1) huruf e, yakni laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak
terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan.
Ini semakin memperjelas bahwa RUU KUHP
mengakomodir dan mengkriminalisasi suatu perbuatan zina yang dilakukan oleh
pelaku zina yang belum menikah (ghoiru
muhsan) yang mana itu terlihat dalam konsep hukum pidana Islam.
Selanjutnya pada Pasal 489 RUU KUHP
Tahun 2008 disebutkan:
(1) Setiap orang yang melakukan
persetubuhan dengan seseorang yang diketahuinya bahwa orang tersebut anggota
keluarga sedarah dalam garis lurus atau ke samping sampai derajat ketiga,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12
(dua belas) tahun;
(2) Jika tindak pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin, maka pembuat tindak pidana,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun.
Dalam Pasal ini terlihat bahwa adanya
konstribusi hukum Islam terhadap unsur pasal tersebut, karena secara umum Islam
melarang adanya perkawinan sedarah. Sehingga Islam memandang bahwa perbuatan
tersebut merupakan perbuatan zina, karena misalkan dengan dalil pelaku
melakukan persetubuhan dengan perempuan yang dianggap istrinya sedangkan
perempuan tersebut haram untuk dinikahi karena perempuan tersebut adalah
muhrimnya, maka pernikahan yang terjadi pun dianggap batal menurut hukum Islam.
Oleh karena ketika persetubuhan itu terjadi maka termasuk pada perbuatan zina.[13]
Pasal 490 RUU KUHP 2008 disebutkan:
(1) Dipidana karena melakukan tindak
pidana perkosaan, dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 12 (dua belas) tahun.
a. laki-laki yang melakukan
persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan, bertentangan dengan kehendak
perempuan tersebut;
b. laki-laki yang melakukan
persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan, tanpa persetujuan perempuan
tersebut;
c. laki-laki yang melakukan
persetubuhan dengan perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut, tetapi
persetujuan tersebut dicapai melalui ancaman untuk dibunuh atau dilukai;
d. laki-laki yang melakukan
persetubuhan dengan perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut karena
perempuan tersebut percaya bahwa laki-laki tersebut adalah suami sahnya;
e. laki-laki yang melakukan
persetubuhan dengan perempuan yang berusia di bawah 14 (empat belas) tahun,
dengan persetujuannya;
f. laki-laki yang melakukan
persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut dalam
keadaan pingsan atau tidak berdaya.
(2) Dianggap juga melakukan tindak
pidana perkosaan, jika dalam keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. laki-laki memasukkan alat
kelaminnya ke dalam anus atau mulut perempuan; atau
b. laki-laki memasukkan suatu benda
yang bukan merupakan bagian tubuhnya ke dalam vagina atau anus perempuan.
Dari pasal tersebut terlihat bahwa unsur pasal memfokuskan
pemidanaan terhadap perbuatan persetubuhan yang dikarenakan pemaksaan, dengan
kata lain perzinahan tersebut terjadi karena adanya upaya paksa dari seorang
lelaki terhadap perempuan untuk melayani nafsu birahinya. Ini sejalan dengan
hukum pidana Islam, di mana menurut pendapat yang marjuh (lemah) di dalam mazhab Maliki, Hanafi, Syafi’i, Hambali,
dan Syiah Zaidiya, bahwa tidak mungkin dilakukan pemaksaan perzinahan
terhadap laki-laki, karena kalau yang dipaksa itu adalah perempuan, kemungkinan
besar sekali, karena wanita tugasnya adalah menyerahkan diri, tetapi laki-laki,
tidak bisa dikatakan dipaksa apabila alat kelaminnya menegang, karena tegangnya
itu menunjukkan kesediaannya. Baru apabila alat kelaminnya tidak menegang
tetapi tetap dipaksakan maka di sini menurut Islam, ia tidak dapat dikenakan
hukuman had.[14]
Selanjutnya pada Pasal 494 RUU KUHP 2008
disebutkan:
“Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang
lain yang sama jenis kelaminnya yang diketahui atau patut diduga belum berumur
18 (delapan belas) tahun, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun.”
Pasal tersebut sejalan dengan konsep Islam, di mana Islam memandang
perbuatan cabul dengan orang sesama jenis atau yang disebut dengan Liwath atau homoseksual merupakan
perbuatan yang dilarang oleh syara’ dan
merupakan perbuatan yang lebih keji daripada zina. Homoseksual ini bentuknya
sama dengan zina dalam segi memasukkan kelamin dengan syahwat dan kenikmatan.
Dengan demikian, perbuatan ini termasuk kepada kelompok zina dengan
hukuman-hukuman yang sudah dicantumkan dalam nas.[15]
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Dalam hukum pidana Islam, pelaku
perbuatan zina terbagi atas pelaku yang belum menikah (ghoiru
muhsan) dan pelaku yang sudah menikah (muhsan). Adapun unsur-unsur perzinahan yang terdapat dalam hukum
pidana Islam, yakni persetubuhan yang diharamkan dan persetubuhan karena adanya
kesengajaan atau niat melawan hukum.
Konstribusi hukum
pidana Islam terlihat Pada Pasal 485, 489, 490, 494 RUU KUHP. Konstribusi tersebut memperlihatkan bahwa langkah
tersebut merupakan upaya untuk memberlakukan hukum pidana Islam sesuai dengan
aspirasi masyarakat Indonesia secara umum dan umat Islam secara khususnya.
2. Saran
Berbagai konsep pemikiran Islam di atas
menunjukkan adanya "nilai plus" dari RUU KUHP tersebut. Konsep pemikiran yang terancang dalam R-KUHP yang telah
tersusun sekarang ini, secara keseluruhan direkomendasian agar dapat
diakomodasikan dalam penyempurnaan penyusunan RUU KUHP Nasional mendatang. Semoga para pemangku
kewenangan dapat memaksimalkan konsep tersebut sehingga dapat memberikan harapan dan tujuannya agar KUHP mendatang bisa mendekati
perwujudan konsep hukum yang "ideal" sebagaimana dicita-citakan oleh
segenap elemen bangsa.
[1] Hukum pidana Islam
merupakan seperangkat norma atau peraturan yang bersumber dari Allah dan Nabi
Muhammad SAW, untuk mengatur kejahatan manusia di tengah-tengah masyarakatnya.
Dengan kalimat yang lebih singkat, hukum pidana Islam dapat diartikan sebagai hukum
tentang kejahatan yang bersumber dari ajaran Islam. Hukum Pidana Islam (HPI)
dalam khazanah literatur Islam biasa disebut al-ahkam al-jinaiyyah,
yang mengatur pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang mukallaf dan
hukuman-hukuman baginya. Lihat dalam Abd al-Wahhab Khallaf, Ilm
Ushul al Fiqh, (Al-Qahirah:
Dar al-Ilm li al-Thiba’ah wa al-Nasyr wa al-Tawzi, 1978), hlm. 32. Lebih lanjut
Para ulama menggunakan istilah hukum pidana Islam dengan istilah jinayah yang memiliki dua arti, yakni arti
luas dan arti sempit. Dalam arti luas, jinayah merupkan
perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Syara’ dan dapat mengakibatkan hukuman had
(hukuman yang ada ketentuan nash-nya seperti hukuman bagi pencuri,
pembunuh, dll), atau ta’zir (hukuman yang tidak ada ketentuan nash-nya
seperti pelanggaran lalu lintas, percobaan melakukan tindak pidana, dll). Dalam
arti sempit, jinayah merupakan
perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Syara’ dan dapat menimbulkan hukuman had,
bukan ta’zir. Lihat dalam
A. Jazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam),
Cetakan Ke-3, (Jakarta: Rajawali Pers, 2000), hlm. 2.
[2] Asafri Jaya Bakri, Konsep
Maqashid Syari’ah menurut Al-Syatibi, (Jakarta: Rajawali
Pers, 1996), hlm. 71.
[3] Ahmad Wardi Muslich, Hukum
Pidana Islam,Cetakan Ke-2,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 4.
[4] Ibid, hlm. 8.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid, hlm. 25
[8] Ibid.
[9] Makna syubhat adalah
setiap peristiwa hukum atau keadaan yang menyebabkan suatu perbuatan berada di antara
dua ketentuan hukum.
[10] Topo Santoso, Membumikan
Hukum Pidana Islam (Penegakan Syariat Dalam Wacana Dan Agenda), (Jakarta: Gema Insani Press, 2003),
hlm. 25.
[11] M. Amin Suma, Makalah: “Telaah
Kritis dan Sumbangan Konstruktif Terhadap RUU KUHP” (Bab XVI hingga Bab XXXIII) lihat di http://www.djpp.depkumham.go.id/inc/buka.php?czozNjoiZD1zb3MrMSZmPVRlbGFhaF9Lcml0aXNfUlVVX0tVSFAuaHRtIjs. Diakses tanggal 19/1/2014.
[12] A. Malik Fajar, Potret Hukum Pidana Islam, Deskripsi, Analisis Perbandingan dan Kritik
Konstruktif, editor Jaenal Aripin dan M. Arskal Salim GP, Pidana
Islam di Indonesia: Peluang, Prospek dan Tantangan, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2001), hlm. 18.
[13] Wathul Maharim
adalah menyetubuhi wanita muhrim yang dinikahi. Pernikahan semacam ini hukumnya
batal menurut kesepakatan para ulama. Pesetubuhan yang dilakukan terhadap farji
yang disepakati haramnya karena bukan hak milik dan tidak ada syubhat milik, tetap merupakan perbuatan
zina yang harus dikenai hukuman had.
Dalan kasus misalkan yang telah disebutkan, akad nikah yang dilakukan itu
merupakan akad yang batal dan tidak ada pengaruhnya sama sekali, sehingga hal
tersebut tidak bisa dianggap sebagai syubhat.
Lihat dalam Ahmad Wardi Muslich,
Op.Cit., hlm. 20-21.
[14] Bandingkan Ahmad
Wardi Muslich, Ibid, hlm. 22.
[15] Abd Ar-Rahman Al-Jaziri, Kitab Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib
Al-Arba’ah, Jus V, (Beirut:
Dar Al-Fikr, 1980), hlm. 140, dalam Ahmad Wardi Muslich, Ibid, hlm. 13.